Memanusiakan Manusia
KLIK BALIKPAPAN – Abdullah bin Hudzafah. Namanya mewangi dalam lembar catatan emas sejarah kegemilangan Islam. Beliau salah satu Sahabat yang amat bernyali.
Abdullah menjadi satu dari enam Sahabat, yang diutus Rasulullah menyampaikan surat pada penguasa non Muslim agar memeluk Islam.
Beliau diutus menemui Raja Persia Raya yang kala itu memiliki kekuasaan luas dan hebat.
Tanpa takut, Abdullah menemui Raja Persia Raya. Saat membaca pembuka surat dari Rasulullah, Raja itu murka. Lalu, menyobek-nyobek surat tersebut. Abdullah diseret keluar.
Raja Persia itu meminta pasukannya membawa kembali Abdullah untuk disiksa. Dengan pertolongan Allah, Abdullah lolos dari pengejaran. Abdullah kembali ke hadapan Rasul dan melaporkan kejadian itu.
Rasul berdoa: semoga Allah merobek-robek kerajaan Persia.
Tak butuh waktu lama, Raja itu mati dibunuh dan kerajaannya luluh lantak.
Di masa Khalifah Umar bin Khattab, Abdullah menjadi salah satu tawanan Kerajaan Romawi. Beliau dirayu Raja Romawi agar meninggalkan Islam dan memeluk Kristen degan imbalan kebebasan dirinya.
Tapi, Abdullah menolak. Raja merayu lagi, “Akan kubagi setengah kekuasaanku menjadi milikmu.”
Sekali lagi Abdullah menolak, bahkan dengan lantang menegaskan, “Andai kau beri seluruh kekuasaan dan kekayaanmu, tidak sedetik pun aku tinggalkan agama Muhammad.”
Raja itu murka, lalu meminta algojo menyalibnya. Beliau akan dijatuhi hukuman mati. Saat sudah disalib, rayuan datang dari para algojo. Tapi, beliau tetap menolak.
Sang Raja penasaran. Lantas meminta algojo melepaskan Abdullah dari tiang salib. Beliau dihadapkan pada Raja. Ia meminta Abdullah untuk sujud padanya. Tapi, Abdullah menolak.
Lantas Raja itu meminta algojo menyiapkan wadah besar seperti wajan yang bawahnya dibakar dan berisi minyak panas.
Salah satu tawanan Muslim lain, diseret hidup-hidup lalu dilempar dalam wadah itu. Sekejap, kulitnya mengelupas, daging terpanggang dan meregang nyawa dalam hitungan detik.
Giliran Abdullah diseret ke wadah itu. Beliau menangis. Para algojo melihat air mata Abdullah. Mereka berseru, “Wahai Raja, Abdullah menangis takut.”
Ha ha ha ha ha…
Sang Raja tertawa. Beliau kembali dilepaskan dan dihadapkan pada Raja.
Ia menyeru, “Kamu takut hingga menangis? Tinggalkan agama Islam lalu kau ku bebaskan.”
Abdullah tersenyum. Beliau mengatakan pada Raja, “Saya memang menangis, tapi bukan karena takut. Tangisan saya karena hanya punya satu nyawa.”
Beliau melanjutkan, “Kalau memiliki nyawa sebanyak rambut di kepala, saya ingin dimasukan dalam wadah berisi minyak panas itu hingga mati berkali-kali menggenggam agama Muhammad.”
Raja heran mendengar pernyataan itu. Ia melunak. Raja Romawi meminta, “Cium kening saya, maka kau dibebaskan.” Abdullah menjawab, “Saya beserta seluruh Muslim yang anda tawan.” Raja menyanggupi.
Abdullah berpikir, tak ada salahnya mencium kening. Lain hal kalau bersujud. Akhirnya beliau mencium kening Raja. Seluruh tawanan dibebaskan.
Mereka kembali ke hadapan Khalifah Umar. Khalifah terkejut melihat seluruh tawanan selamat kecuali satu Sahabat yang diseret ke dalam wadah panas.
Sayyidina Umar memberi apresiasi besar pada nyali dan kekohohan aqidah Abdullah bin Hudzafah. Khalifah mengumpulkan para Sahabat.
“Atas keberanian dan kekohohannya, hari ini wajib bagi umat Muslim mencium kening Abdullah bin Hudzafah. Dimulai dari saya.” Lalu Khalifah mencium kening Abdullah, diikuti Sahabat lain.
Kisah itu hanya segelintir dari sepak terjang keberanian dan pengorbanan Abdullah bin Hudzafah As Sahmi. Beliau tak pernah menepuk dada, bangga.
Tak pula mengecilkan Sahabat lain. Beliau menjadi barisan Sahabat yang dicintai Rasulullah dan umat Muslim. Generasi terbaik sepanjang sejarah manusia.
Kini, kita yang hanya bagian dari produk-produk akhir zaman, yang hidup tanpa Rasulullah di tengah kita. Tiada sosok besar yang menjadi induk gerak rupa sama umat, tapi kerap mengaku-aku sebaliknya.
Beribadah sedikit menepuk dada. Menjalankan amaliah seemprit, mengklaim ahli Sunnah. Merasa paling alim, baik, benar, dan mengkerdilkan amaliah Muslim lain.
Tak pernah berjuang, alih-alih berkorban harta, jiwa, keluarga. Tetapi mengaku kemana-mana sebagai pembela Islam. Sedangkan galaknya hanya kepada sesama Muslim, tapi bungkam terhadap kedzaliman yang menimpa umat Muslim.
Tak pernah bertempur, tak merasakan senjata musuh, tak pernah menikmati santetan dari sihir demi sihir, tapi mengaku-aku sebagai pejuang paling berani.
Hari-hari ini patut kiranya kita kembali membuka sejarah. Membaca lagi shirah-shirah Nabawi, Sahabat, Tabiin, para Imam, Wali, Ulama, dan para pendahulu bangsa.
Hari-hari ini patut kiranya merenungi, menjejak tilas, mengupayakan sedikit saja apa-apa yang pernah dilakukan para pendahulu. Paling tidak menjaga identitas bangsa besar bernama Indonesia.
Menjaga budaya tepo seliro, saling asah asih asuh, gotong royong, merendahkan hati, mendahului kepentingan orang lain. Paling tidak, bisa lebih peka pada nasib tetangga yang kurang beruntung, serta menebarkan kebaikan lainnya.
Tanpa bawa embel-embel jualan agama. Apalagi sampai tega mengatasnamakan Sunnah, tapi paling jawara kalau mengghibah. Hii, jangan gitu ah.
Bersama, kita belajar kembali: memanusiakan manusia. Untuk Indonesia. Jangan juga lupa, mari belajar membiasakan diri bershalawat: Shalalaahu alaa Muhammad. (Rudi Agung)