Coretan Rudi

Pembunuhan Wartawan

KLIK BALIKPAPAN – Caruana Galizia, jurnalis investigatif berpulang setelah mobilnya diledakan dalam satu insiden pada Oktober 2017. Ia dikenal kerap membongkar skandal politik dan kejahatan finansial yang dilakukan elit dan politisi. Termasuk mengungkap kasus Panama Papers.

Usai insiden berdarah itu, Perdana Menteri Malta Joseph Muscat mengundurkan diri. Tewasnya Caruana, menambah daftar panjang pembunuhan terhadap jurnalis yang kritis. Meski kasusnya sudah lama, tetapi bukan berarti pembunuhan terhadap wartawan telah berakhir.

Di Denmark, bahkan seorang jurnalis ditemukan dalam kondisi tubuh dimutilasi. Kim Wall tewas setelah menghilang. Jasadnya ditemukan tanpa kaki, tangan dan kepala.

Galizia dan Wall, keduanya jurnalis wanita.

Pembunuhan terhadap Caruana dan Wall, masih kalah mengerikan dibanding yang dialami jurnalis investigatif di Meksiko. Pada Maret 2017, di bulan itu pula empat jurnalis dibunuh.  Sepanjang rentang 2000-2016, sedikitnya 99 jurnalis Meksiko tewas dibunuh.

Related Articles

Bahkan, pembunuhan yang marak itu sampai menyebabkan surat kabar Norte, tutup. Media yang telah berdiri selama 27 tahun itu terpaksa ditutup lantatan awak medianya banyak yang dibunuh.

Pembunuhan terakhir sebelum media itu ditutup, menimpa jurnalis Norte, bernama: Miroslava Breach. Ia tewas setelah ditembak delapan peluru saat berkendara. Usai tewas, ditemukan surat dalam kendaraan Breach.

Pesannya: karena bicara terlalu lantang.

Sejak tahun 2000 sampai 2021, tercatat sedikitnya 150 kasus pembunuhan wartawan terjadi di Meksiko. Catatan hitam itu menunjukkan aksi pembunuhan wartawan terus berlanjut. Meksiko bisa dibilang menjadi negara terbesar dalam kasus pembunuhan terhadap jurnalis.

Para wartawan di sana kerap menjadi sasaran aksi kekerasan kartel narkoba Meksiko, yang berusaha mengintimidasi dan memanipulasi liputan soal aktivitas dan saingan mereka. Bahkan impunitas dalam pembunuhan itu mencakup lebih 90% kasus.

Bagaimana di Indoensia?

Dalam catatan Aliansi Jurnalis Indonesia, di rentang Januari-Desember 2021, jumlah kekerasan terhadap wartawan di Indonesia sebesar 43 kasus. Jumlah ini menurun dibanding tahun sebelumnya di periode sama, yang mencapai 88 kasus.

Penurunan kasus sebesar 48,8% ini patut disyukuri. Namun bukan berarti dibiarkan.

Terlebih kasus pembunuhan wartawan di Indonesia bisa dianggap cukup besar. Dari rentang 1996-2019, sedikitnya 13 wartawan dari pelbagai media di Tanah Air, tewas dibunuh.

Dalam catatan Wikipedia, para korban itu adalah Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin wartawan Harian Bernas, dibunuh pada 16 Agustus 1996. Pembunuhan diduga lantaran menulis dugaan kasus korupsi di Bantul. Pada 25 Juli 1997, giliran Naimullah wartawan Harian Sinar Pagi, yang dibunuh. Dibunuh, diduga terkait investigasi pembalakan liar di Kalimantan, yang melibatkan oknum kepolisian.

Untuk melihat lebih detil nama korban dan anatomi kasusnya, Anda bisa menyimaknya di sini.

Pembunuhan itu terjadi karena pelaku tidak terima dengan berita investigasi para korban. Mulai soalan korupsi, pembalakan liar, narkoba, sengketa lahan, sampai persaingan politik pejabat.

Pembunuhan terhadap wartawan tidak berakhir di tahun 2019. Tahun lalu, kasus serupa juga terjadi. Insan Pers dikejutkan dengan pembuhuhan Mara Salem Harahap alias Marsal. Kematiannya bahkan menjadi perhatian Dewan Pers dan lembaga pers di Indonesia.

Pernyataan sikap Dewan Pers atas pembunuhan Marsal, termaktub dalam Surat Pernyataan Dewan Pers Nomor: 02 /P-DP/VI/2021 ihwal Meninggalnya Pemimpin Redaksi LasserNewsToday, Mara Salem Harahap. Pernyataan itu diteken Ketua Dewan Pers Muhammad Nuh pada Sabtu 19 Juni 2021.

Marsal dibunuh lantaran mengungkap narkoba di Diskotek Ferrari Bar & Resto yang dimiliki S.  Marsal kerap memberitakan peredaran narkoba di sana. Karena kesal dengan pemberitaan massif itu, pemilik Bar menyewa pembunuh bayaran untuk menghabisi korban.

Alasannya, Marsal telah diberi uang penutup mulut.

Namun masih meminta jatah bulanan sebesar Rp 12 juta dan dua butir ekstasi setiap hari. S kemudian menyewa Y dan Praka AS. Ketiganya terbukti bersalah dan dipenjara. Khusus Praka AS ditahan di Rumah Tahanan Militer Pomdam I/BB. Belakangan, Praka AS meninggal dunia di Rutan, 12 September 2021. Pomdam I/BB juga mengungkap tiga oknum TNI AD lain, yang diduga sebagai penyedia senpi ilegal.

Kasus kekerasan sampai pembunuhan terhadap wartawan kerap menghiasi dinding pemberitaan di media massa. Lantaran itu komitmen tegas dari kepolisian untuk memberi efek jera pada pelaku, berupa hukuman seberat-beratnya. (Rudi Agung)

Back to top button