Pejabat yang Terkungkung

KLIK BALIKPAPAN –  Bila Izrail datang memanggil, jasad terbujur di pembaringan. Seluruh tubuh akan menggigil, terkujur badan dan kedinginan. Tiada lagi gunanya harta, kawan karib sanak saudara. Tiada lagi gunanya harta, kawan karib sanak saudara

Petikan lagu kontemporer era 70-an ini, begitu memantik hati. Apalagi saat memori berputar ke rumah salah seorang mantan pejabat di Jakarta, beberapa tahun lalu.

Kala itu, selama tiga hari saya bersama dua kerabat berkesempatan menginap di rumah seorang mantan pejabat teras di Jakarta. Sungguh, itu hari-hari yang memilukan. Kisahnya pernah saya tuliskan di Kolom Republika Online, Mei 2016 silam.

Begini kisahnya:

Mantan pejabat teras itu sebut saja Fulan. Ia bercerita, usianya 67 tahun, sudah pensiun tapi masih punya pengaruh luar biasa. Asetnya dimana-mana. Anaknya lebih dari delapan, istrinya dua.

Tetapi sudah 20 tahun mengidap penyakit gonta ganti. Selama delapan tahun terakhir, mondar mandir dirawat di rumah sakit. Sampai sekarang masih rawat jalan. Keluhan utamanya, gula darah tinggi: di atas 200. Jalannya terasa berat.

Salah satu kawan, terapis bekam. Saya ikut menemaninya. Maksud kedatangan memeriksa kesehatan Fulan. Kami disambut hangat. Diminta stay seminggu dan dianjurkan menganggap rumah sendiri.

Kami terkejut. Rumahnya besar sekali, di bawah ada dua kamar, di lantai dua ada empat kamar. Lantai ketiga untuk jemuran. Tiap kamar punya kamar mandi sendiri.

Ketika kami sapa dengan panggilan: Oom, Fulan menangis.

Ia bilang, “Tolong, kalau boleh jangan panggil Oom lagi. Tapi panggil saya, Papa,” katanya. Tentu saja kami kaget bukan kepalang. Baru ketemu sekali, diminta memanggil dirinya dengan sebutan: papa.

Fulan berkisah, dua istrinya tidak bersamanya lagi. Tapi belum bercerai. Hanya pisah tempat. Begitu pula sembilan anaknya. Semua pergi meninggalkannya. Tak ada juga para kolega yang menjenguknya.

Rumah besar, asetnya triliunan rupiah, tetapi enam tahun hanya tinggal sendiri. Bergonta ganti pembantu tetapi selalu lari. Ia bertahun-tahun terpaksa hidup sendiri. Bahkan sakit-sakitan. Fulan pun curhat dari A sampai Z.

“Nyesal saya mendidik anak dengan pendidikan, pendidikan, pendidikan tapi melupakan mendidik agama. Pas tua, istri dan anak pergi semua. Begitu juga kolega saya.”

Kami diam, mendengarkan. Kawan memulai terapi bekamnya.

Apa yang terjadi? Dari 20-an titik bekam, seluruhnya keluar minyak. Ya, minyak. Banyak sekali. Sedang darahnya kental seperti marus. Warnanya hitam pekat. Ada pula yang seperti jeli.

Kami saling tatap. Heran, melongo, bermacam-macam dugaan. Seorang kawan berinisiatif melafadzkan shalawat. Gaung shalawat bersahutan dari bibir-bibir kami. Fulan pun menangis.

“Dada saya berguncang mendengar shalawat kalian,” tuturnya.

Fulan juga kaget dengan hasil bekamnya. Ia heran. Bahkan lebih heran dirinya dibanding keheranan kami. Lalu bertanya: apakah semua ini hasil perbuatan dulu?

Ia mengungkap, sebagai mantan pejabat teras begitu mudah mencari uang. Namun tidak memikirkan halal atau haramnya. Kami tetap mendengarkan curhatnya. Fulan berkisah sambil menangis.

“Murtad saya. Ya Allah…”

“Apakah semua ini dampak dari pekerjaan saya dulu? Kebodohan saya mencari sumber uang dengan cara yang salah?” bibirnya terus berkisah tentang masa kejayaannya. Lalu mengungkapkan, betapa banyak uang negara dihambur sia-sia.

“Apa yang harus saya lakukan sekarang?” tanyanya. Kami mencoba menjelaskan dasar-dasar agama dan pentingnya mencari sumber halal. Pentingnya peduli pada anak-anak yatim dan fakir miskin.

Sebab, kita lah yang butuh mereka. Bukan sebaliknya. Siapa yang tak peduli, diperingatkan Sang Maha dalam Surat Al Maun sebagai pendusta agama.

Fulan menangis lagi. Kala itu tangisnya pecah. Meledak. “Ya Allah… Ampuni saya Ya Allah…,” teriaknya sambil terisak. Semakin lama, ia membuka dirinya. Mengakui segala kesalahannya:

Bersekutu dengan selain Allah, mencari sumber uang seenaknya, merampas uang rakyat, membuangnya dengan foya-foya keliling dunia, tidak mendidik anaknya dengan agama.

Lalu, ketika uang sudah di genggaman; semua banyak yang lepas begitu saja. Tiga mobilnya hilang ditipu, puluhan juta tabungannya raib entah kemana, dua istri dan semua anak meninggalkannya. Kolega tidak ada yang menemaninya. Didera penyakit yang menguras uangnya.

Kini, sisa hartanya menjadi rebutan anak-anak dan dua istrinya. Padahal Fulan belum meninggal dunia. Tak ada yang mau merawat, tapi semua berebut harta bendanya. Ia menangis tanpa henti, menggedor ruang hati kami.

Fulan sadar, banyak mencari uang dengan jalan seenaknya. Merampas yang bukan haknya. Ia tidak dipenjara, tetapi hidup Fulan bagai terpenjara. Bahkan lebih dari sebuah penjara. Rumah besar, uang banyak tak bisa dinikmatinya. Harta jadi rebutan yang membuatnya sakit bertahun-tahun.

Kami yang diminta menginap seminggu, hanya bisa tahan tiga hari. Sungguh, kami tak kuat lagi mendengar kisah-kisanya. Ketika kami pulang, ia bilang akan kehilangan lagi. Kesepian kembali. Meminta kami balik lagi lain hari.

Kami tercengang. Duka lara Fulan ini baru di dunia. Bagaimana di kubur nanti, bagaimana di kehidupan setelah kematian nanti. Sungguh, kecintaan manusia pada harta, pada dunia, hanya menyengsarakan hidupnya. Bahkan terus mengundang kegelisahan sampai di penghujung usia.

Apakah kehidupan Fulan menjadi representasi para koruptor atau orang-orang yang tak peduli sumber nafkah halal atau haram? Apakah potret Fulan sebuah cermin kehidupan pejabat di negara korup ini? Dengan kesengsaraan beragam versi, kegersangan jiwa, kekacauan pikiran.

Ketika pulang: hati dan logika kami berkecamuk, menggedor-gedor ruang jiwa.

Terima kasih Bapak Fulan. Engkau telah mengingatkan bangsa ini. Ya Allah, berikanlah kami kesempatan untuk bertaubat pada Mu. Ya Rahman, selamatkanlah hidup dan mati kami. Ya Rahim, ampuni dosa-dosa kami. Allahumma shalli alaa Muhammad.

I R. Agung – penikmat buku.

Exit mobile version