KLIK BALIKPAPAN – Pemerintah akhirnya mencabut subsidi minyak goreng kemasan per medio Maret 2022. Harga minyak goreng kemasan diserahkan pada mekanisme pasar.
Konsekuensinya, kenaikan harga makin ugal-ugalan.
Pencabutan subsidi itu dilakukan setelah beberapa waktu terjadi kelangkaan minyak goreng di pasaran. Fakta ini sangat menyedihkan.
Indonesia tidak sedang berperang, tidak pula menghadapi bencana alam nasional, tapi saat pemerintah menetapkan harga eceran aka HET untuk seluruh jenis minyak goreng, tiba-tiba terjadi kelangkaan minyak goreng. Padahal Indonesia termasuk negara terbesar penghasil sawit.
Pada Januari 2022, pemerintah menjanjikan subsidi dengan menetapkan harga eceran tertinggi Rp 14 ribu per liter. Subsidi ini dijanjikan selama enam bulan. Pada Mei 2022 akan dilakukan evaluasi. Tapi, baru di akhir Februari minyak goreng mengalami kelangkaan.
Pemerintah sempat menuding masyarakat. Kelangkaan terjadi karena adanya panic buying. Belakangan tudingan itu tidak terbukti sama sekali. Justru pemerintah membagi-bagikan minyak gratis bagi warga yang ingin divaksin. Disusul sejumlah partai menjual minyak murah berton-ton.
Bahkan jutaan liter minyak goreng justru diekspor ke luar negeri.
Pemerintah pun kewalahan mengatasi kelangkaan minyak. Operasi pasar dan pengawasan terhadap distributor nakal tidak banyak memberi solusi. Masyarakat terpaksa berhari-hari berkerumun hanya untuk mengantri minyak goreng. Yang pembeliannya dibatasi, dua liter per orang.
Semua ini juga tidak memberi solusi. Masyarakat tetap mengantri, dari pagi sampai malam hari antrian di banyak tempat terjadi. Yang mengenaskan, antrian minyak sampai menelan korban jiwa. Dua warga meregang nyawa. Satu korban di Berau, wafat karena asma dan pingsan dalam antrian lalu meninggal. Satunya lagi warga Samarinda, yang kelelahhan mengantri, lalu nyawanya tidak kembali lagi.
Akhirnya pemerintah menyerah.
Harga eceran tertinggi hanya diberlakukan untuk minyak goreng curah. Itu pun naik, dari Rp 11.500 menjadi Rp 14 ribu. Untuk minyak goreng kemasan, subsidi justru dicabut. Pemerintah seolah menelan janji sebelumnya yang baru diumumkan dua bulan belakangan.
Dalam janji pemerintah, sebanyak 1,2 miliar liter minyak akan didistribusikan selama enam bulan. Dananya mencapai Rp 3,6 triliun. Tak sampai enam bulan, janjinya berantakan.
Harga minyak goreng kemasan pun diserahkan pada mekanisme pasar. Dan hanya selang sehari dari pencabutan subsidi itu, stok minyak goreng kemasan muncul tiba-tiba. Rak-rak etalase di minimarket di pelbagai daerah dipenuhi minyak. Lalu harganya melonjak, yang mencapai Rp 24 ribu per liter.
Seakan-akan memang menantikan pencabutan subsidi. Sebab janggal sekali. Ketika harga minyak kemasan Rp 14 ribu, stok minyak menghilang. Saat harga diserahkan pasar, stoknya melimpah ruah. Tapi harganya membuat masyarakat resah. Pemerintah kalah dengan kartel.
Mereka pesta pora atas pencabutan subsidi minyak kemasan.
Harga pun melonjak tajam tidak karuan. Pemerintah sendiri menelan janji manis yang disemburkan. Dari yang dijanjikan Rp 14 ribu per liter, melesat ke Rp 24 ribu per liter. Kenaikan harga ini bisa terus terdongkrak menyusul kedatangan Ramadhan.
Lantas, apa dampaknya dengan pengambilan kebijakan pemerintah yang mencabut subsidi?
Kartel menang banyak.
Kemenangan geoekonomi sawit dunia, yang sebelumnya dipegang pemerintah Indonesia dan Malaysia, kini diambil alih kartel. Dampaknya penentuan harga pasar bisa sewenang wenang.
Ilustrasinya, kalau di seluruh pasar international dan nasional mulai jenuh dan cenderung turunan, maka jaringan kartel hulu hilir akan mengurangi pasokan. Produsen CPO akan mekurangi produksi dengan pelbagai alasan, termasuk menimbun barang setengah jadi agar lolos dari kasus penimbunan.
Begitu juga sebaliknya.
Kalau harga masih menguntungkan pebisnis sesuai keinginan mereka, maka fluktuasi harga minyak goreng seperti roll coaster, naik turun sangat cepat. Ibarat menyerahkan leher konsumen minyak goreng Indonesia untuk diserahkan kepada kartel untuk siap dijagal.
Yang paling dikhawatirkan terjadi inflasi dalam negeri lantaran nilai tukar rupiah terhadap barang menurun, sedangkan harga tetap cenderung tinggi. Pada akhirnya pemerintah disayat-sayat senjata tajam geoekonominya sendiri.
Pengeluaran pemerintah untuk mensubsidi selisih harga internasional dan lokal Indonesia bisa semakin tinggi, seiring kian banyaknya kebutuhan pasokan dalam negeri. Yang ujungnya, terjadi pengeluaran besar sampai dicabutnya subsidi yang akan menghantam keuangan negara.
Anggaran negara yang seharusnya bisa dialokasikan bagi kebutuhan masyarakat lain, digerogoti kartel karena permainan ini. Pertaruhannya, jika pemerintah tidak mengikuti permainan kartel, maka kondisi kelangkaan akan kembali terjadi. Pola permainan kartel yang begitu brutal justru difasilitasi pemerintah sendiri. Innalilahi…