Klik Tizen

IKN: Harapan atau Kekhawatiran

KLIK BALIKPAPAN –  Euforia gegap gempita pencitraan rencana pemindahan ibu kota sangat luar biasa. Polesannya dimana-mana. Nyaris semua media membahasnya; media regional dan nasional. Seolah mengingatkan pada boom pemberitaan: Pilkada DKI 2012, Pileg 2014, Pileg 2019. Serba kecap.

Memang, ada harapan membuncah dari pemindahan. Tapi, seiring itu ada pula kekhawatiran.

Selain potensi kerusakan alam, anggaran minim, utang besar, kemiskinan, segrambeng problematika masih menghantui. Datang, silih berganti. Tokoh-tokoh bangsa mulai mengingatkan agar pemindahan ibu kota negara ditunda. Tidak pas waktunya.

UU IKN yang belum sebulan disahkan, langsung digugat ramai-ramai. Sejumlah tokoh besar juga ikut meneken petisi penundaan pemindahan Ibu Kota Nusantara. Rencana pemindahan seakan melangit. Mengingatkan kita pada booming Esemka. Sedangkan memindahkan ibu kota tak semudah membalik telapak tangan.

Keduanya selalu beriringan: harapan dan kekhawatiran.

Related Articles

Faktanya, pada tahun 2015 telah dilakukan groundbreaking kereta Kalimantan di sekitar lokasi IKN. Tapi hasilnya mangkrak. Padahal gegap gempitanya juga luar biasa. Pemberitaannya dimana-mana.

Tapi sampai saat ini proyeknya tidak ada kelanjutan. Malah dihentikan. Lalu, baru mau dirancang kembali. Duh, alih-alih mau pindah ibu kota. Uang saja tidak ada. Belum lagi utang menggunung. Pelbagai masalah Indonesia bak benang kusut.

Kok mau ditambah keruwetan pemindahan lagi.

Saat uji publik RUU IKN, banyak yang menolak. Tapi tetap disahkan. Baru selang hari disahkan, sekarang UU itu digugat ke MK. Seperti hobi. Banyak sekali UU yang baru disahkan, lalu digugat. Ini seperti potret membuat UU kejar tayang.

Satu per satu banyak pihak menyoroti rencana pemindahan. Publik menilai jika itikadnya meratakan pembangunan, lakukan saja pemerataannya tanpa memindahkan ibu kota. Yang bikin masalah makin ruwet. Masyarakat juga mulai meragukannya.

Tidak perlu muluk-muluk pemerataan pembangunan.

La wong Kaltim sebagai pemberi sumbangsih besar bagi pusat, tapi pengembaliannya bikin nafas tercekat. Pada 2019, setoran kaltim ke pusat Rp 500 triliun, yang kembali ke Kaltim cuma Rp 20 triliun atau empat persennya saja. Padahal Kaltim menjadi penyumbang besar untuk APBN.

Berbeda dengan Papua dan Aceh, yang dana bagi hasilnya, bisa kembali sebesar 70 persen.

Lantas gimana mau pindah ibu kota demi pemerataan pembangunan dan ekonomi? Dalam pembagian dana perimbangan saja masih sangat timpang. Belum lagi lokasi yang kebanyakan masih hutan. Apa belum cukup membabat hutan?! Alih-alih bangun istana, sumber air dan listrik saja tidak semua wilayah setempat terpenuhi.

Apalagi kalau bicara infrastruktur dasar. Seperti sekolah, gedung perkantoran, dan lainnya. Di Kabupaten Penajam yang jadi lokasi titik 0 IKN, mall saja tidak ada. Warga setempat kalau mau ke mall, harus nyebrang ke kota lain di Balikpapan atau Samarinda. Apalagi tempat hiburan lain.

Lantas mau membangun istana? Sebetulnya apa urgensinya?

Sedang kenyataannya dana bagi hasil ke Kaltim masih tidak adil. Hal-hal substansial, dari kemampuan anggaran, potensi kerusakan alam, fakta ketimpangan dana perimbangan, dan lainnya seakan kurang diperhatikan.

Logikanya juga sederhana. Jakarta, yang semua ada di sana, sudah punya segala fasilitas luar biasa untuk apa dipindahkan? Untuk apa pindah memulai dari nol dengan segala keruwetannya.

Bukankah lebih baik fokus membangun ekonomi dan industri di Kaltim, tanpa harus memindahkan ibu kota? Minimal, kabulkan permintaan Kaltim yang meminta kenaikan dana bagi hasil. Paling tidak bisa sama dengan Aceh dan Papua.

Untuk memperjuangkan dana perimbangan ini saja, Kaltim masih harus bekerja keras. Bukankah kalau ingin memeratakan pembangunan dan ekonomi, cukup naikan saja dana bagi hasil ke Kaltim.

Pemprov Kaltim pernah berjuang untuk otonomi khusus namun tidak diterima. Kemduian berjuang dana bagi hasil migas dan SDA dinaikkan dari 15,5 persen menjadi 30 persen tapi ditolak MK. Sampai Oktober tahun 2021, Kaltim juga masih berjuang untuk revisi UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah atau UU HKPD. Lagi-lagi klausul yang disampaikan belum juga diterima.

Masyarakat dan pemerintah Kaltim masih terus berusaha memperjuangkan hak-hak daerah terhadap keuangan pusat dan daerah. Tapi hasilnya belum diterima pusat. Lantas, apa jaminannya pemindahan IKN benar-benar untuk kebutuhan masyarakat Kaltim? Mengabulkan hal sederhana seperti DBH saja tidak dilakukan. Padahal permintaan itu sudah bertahun-tahun diajukan.

Jatam turut mempertanyakan dasar keputusan pemerintah melakukan pemindahan yang tidak dibarengi jajak pendapat pada masyarakat. Sebab, suara masyarakat adat seharusnya menjadi prioritas utama bagi pemerintah.

Mereka mensinyalir pemindahan berkedok mega proyek hanya akan menguntungkan oligarki pemilik konsesi pertambangan batu bara dan penguasa lahan skala besar di Kaltim.

JATAM Kaltim pernah merinci saat ini Kaltim memiliki 1.190 Izin Usaha Penambangan dan 625 izin di Kabupaten Kutai Kartanegara. Di Kecamatan Samboja saja terdapat 90 izin pertambangan. Di Bukit Soeharto bahkan ada 44 izin tambang.

JATAM Kaltim menilai di PPU, terutama di Kecamatan Sepaku rencana pemindahan IKN hanya menguntungkan perusahaan yang dikuasai PT ITCI Hutani Manunggal IKU dan ITCI Kartika Utama. Pemindahan ibu kota ini tidak lebih dari kompensasi politik atau bagi-bagi proyek paska Pilpres.

Pemindahan IKN dinilai bisa merampas ruang hidup masyarakat pesisir yang memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan di sepanjang teluk Balikpapan.

Pusat Data dan Informasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan atau KIARA 2019 mencatat, ada lebih 10 ribu nelayan yang setiap hari mengakses dan menangkap ikan di Teluk Balikpapan.

Sekjen KIARA Susan Herawati, membeber jumlah ini terdiri dari 6.426 nelayan dari Kabupaten Kukar, lalu 1.253 nelayan dari Balikpapan, dan sekitar 2.984 nelayan Kabupaten PPU.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Walhi, mengungkapkan, dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis IKN, hasil studinya menunjukkan tiga permasalahan fundamental jika pemindahan ibukota dipaksakan.

Yakni ancaman tata air dan risiko perubahan iklim, ancaman terhadap flora dan fauna serta ancaman terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.

Walhi menduga penetapan Lokasi IKN telah dilakukan terlebih dahulu secara politik tanpa landasan hukum yang jelas dan tidak mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Jadi, pemindahan IKN nanti: apakah sebuah harapan atau kekhwatiran?

I R. Agung – penikmat buku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button