Warta

Siti Latifah Herawati Diah

KLIK BALIKPAPAN – Hari ini 3 April 2022, mungkin Anda terkejut dengan tampilan Google Doodle. Di layar Anda, ditampilkan ilustrasi sosok wanita yang anggun. Tahu kah siapa beliau?

Sosok itu tak lain dan tak bukan adalah Siti Latifah Herawati Diah (1917-2016). Beliau adalah jurnalis perempuan pertama di Indonesia. Wartawati Indonesia itu turut jadi saksi dan pelaku dalam sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia.

Tidak mengherankan jika jika hari, Google Doodle menampilkan sosok Siti Latifah Herawati Diah.

Lantas, kenapa Google Doodle menampilkannya hari ini?

Sebab, Siti Latifah Herawati Diah dilahirkan tepat hari ini, 3 April tahun 1917.

Related Articles

Siti Latifah Herawati Diah selain dikenal sebagai tokoh Pers Indonesia, ternyata juga seorang istri dari mantan Menteri Penerangan, Burhanuddin Muhammad Diah (1917 – 1996).

Sebagai jurnalis wanita, Siti Latifah Herawati Diah turut menjadi salah satu saksi hidup dalam peristiwa dikirimnya delegasi perempuan Indonesia ke India di tahun 1947. Saat itu, ia dikirim sebagai salah satu delegasi yang mendapat kehormatan bertemu dengan Bapak Kemerdekan India, Mahatma Ghandi.

Siti Latifah Herawati Diah juga tercatat sebagai wanita berpendidikan tinggi, yang berhasil menuntaskan pendidikannya di Bernard College, New York.

Siti dilahirkan dari pasangan Raden Latip, seorang dokter yang bekerja di Billiton Maatschappij, dan Siti Alimah. Dari laporan Wikipedia, Siti Latifah Herawati Diah meniti karir media pertama kali saat berusia 22 tahun sebagai stringer di kantor berita United Press International.

Siti Latifah, dalam kehidupannya berkesempatan mengecap pendidikan tinggi di American High School di Tokyo, Jepang. Setelah itu, ia beringsut ke Amerika Serikat untuk belajar sosiologi di Barnard College yang berafiliasi dengan Universitas Columbia, New York dan lulus di tahun 1941.

Pada tahun 1942 pulang kampung ke Indonesia dengan aktivitas sebagai wartawan lepas kantor berita United Press International atau UPI. Kemudian bergabung lagi sebagai penyiar di radio Hosokyoku. Setelah itu ia menikah dengan B.M. Diah, yang bekerja di koran Asia Raja.

Pada 1 Oktober 1945, B.M. Diah bersama istrinya mendirikan dan mengembangkan Harian Merdeka. Di tahun 1955, Siti Latifah dan suaminya mendirikan The Indonesian Observer, koran berbahasa Inggris pertama di Indonesia.

Koran itu diterbitkan dan dibagikan pertama kali dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung, Jawa Barat, sekitar tahun 1955. Siti Latifah Herawati Diah juga tercatat pernah memimpin upaya mendeklarasikan Kompleks Candi Borobudur sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.

Beliau juga menjadi advokat guna menyuarakan hak perempuan dan mendirikan beberapa organisasi perempuan, salah satunya Gerakan Pemberdayaan Suara Perempuan.

Siti Latifah Herawati Diah
Siti Latifah Herawati Diah. (GI) adminklik | KLIK BALIKPAPAN

Saat penyusunan cetakan kedua Ensiklopedia Pers Indonesia terbitan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 2010, Siti Latifah pernah menyatakan, tanpa melepas pendidikan agama Islam dan tradisi, Ibu Alimah mendorong anak-anaknya untuk merangkul gaya hidup Barat yang bertujuan mengimbangi kaum penjajah Belanda.

Khusus Siti, awalnya ia dikirim ke sekolahdi Jepang. Berlanjut ke Amerika Serikat, tahun 1941. Di tahun itu, ia menjadi wanita pertama Indonesia yang berhasil meraih gelar sarjana dari luar negeri.

Siti Latifah menempuh studi di Barnard College, UniversitasColumbia, New York, AS. Pada musim panas, Siti belajar jurnalistik di UniversitasBerkeley, California.

Apa alasan Siti studi ke Amerika, bukan Eropa?

Ternyata ada kisah tersendiri. Ibunya dari lingkungan priyayi itu memutuskan bahwa Siti Latifah harus menuntutilmu ke negara yang tidak punya jajahan. Usai studi, Siti kembali ke Indonesia. Saat itu, Jepang menyerbu ke Selatan, dan menggulingkan seluruh pemerintahan jajahan Eropa di Asia Tenggara.

Ternyata, latar pendidikan Amerika yang dimilikinya sangat diperlukan segera untuk menghadapi pelbagai peristiwa genting yang menerpa Indonesia. Maka, Siti Latifah Herawati Diah, terpantik untuk menjalankan tugas-tugas jurnalisme.

Setengah dipaksa, ia bekerja di stasiun radio penguasa militer Jepang yang membutuhkan penyiar berbahasa Inggris untuk keperluan propagandanya.

Usai Jepang menyerah kepada Sekutu, dan Soekarno memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, Siti Latifah sempat menjadi Sekretaris Pribadi menteri luar negeri pertama republik, Mr. Achmad Soebardjo, yang kebetulan adalah pamannya sendiri.

Selanjutnya, Siti Latifah membantu suaminya menerbitkan koran pro-Indonesia Merdeka. Karena saat itu di Republik Indonesia, satu pemain baru dalam arena politik internasional yang belum teruji, membutuhkan media komunikasi untuk melawan Belanda dan Sekutu yang mengotot ingin memulihkan rezim Hindia Belanda. Maka beredarlah Harian Merdeka, sejak 1 Oktober 1945.

Sejak bulan itu, Siti Latifah memimpin harian baru berbahasa Inggris, Indonesian Observer, untuk mengkampanyekan aspirasi Kemerdekaan RI dan negara-negara yang masih terjajah. Yang terus menggelora sejak penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung.

Siti memandang jurnalisme dengan kecintaan pada pekerjaan dan membutuhkan pengindahan terhadap hati nurani.

“Hati nurani adalah penyuluh dari pekerjaan dan sukses wartawan, justru karena inti dari profesi ini adalah pengabdian kepada kepentingan umum. Inilah yang berulangkali saya sadari ketika melakukan lawatan keliling Nusantara dalam rombongan bersama Presiden Sukarno,” ujarnya.

Ibu dari dua putri dan seorang putra itu menambahkan, “Keterbelakangan sekian daerah di Indonesia mengharuskan kita membuat reportase menggunakan hati nurani. Dengan kegemaran merekam setiap kali terlihat satu contoh sikap di dalam masyarakat, dan memegang teguh prinsip-prinsip moral dan etik.  Wartawan akan merebut kepercayaan pembacanya, membesarkan tempatnya bekerja, dan malah mencetak nama bagi dirinya sendiri.”

Khusus mengenai jurnalisme dan perempuan, Siti Latifah menilai ada kesalahan dalam mengembangkan jurnalisme.

“Salah satu kesalahan itu adalah pengucilan berita-berita penting bagi umat manusia sebagai sekadar berita wanita. Berarti itu tidak dianggap penting. Padahal, sebenarnya menyangkut lebih dari separuh penduduk dunia. Persoalan wanita adalah persoalan setengah dunia, bukan persoalan sekelompok kecil masyarakat.”

Menurutnya, meningkatnya jumlah wartawati di dunia pers membesarkan hatinya. Ia yakin bahwa banyak wanita sependapat dengannya, bahwa wanita dalam posisi lebih baik untuk memperjuangkan nasib sesamanya dibanding bersama rekannya yang laki-laki.

“Karena masih saja ada ketiadaan keadilan bagi wanita di pelbagai sektor kehidupan di bumi Indonesia yang tercinta ini. Keuntungan yang kita peroleh sebagai wartawan wanita tidak terhitung banyaknya.”

Siti Latifah juga pernah mendampingi suaminya yang diangkat sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh di Cekoslowakia, Inggris dan terakhir Thailand dalam periode 1959 hingga 1968.

Selepas dari Bangkok, Thailand, kembali ke Jakarta, ia sebagai isteri menteri penerangan karena BM Diah ikut duduk dalam kabinet terakhir Bung Karno pada tahun 1968. Surat kabar Merdeka dan Indonesian Observer terus terbit selama pengembaraannya.

Sebab Siti Latifah tetap dapat mempublikasikan kesan-kesannya sebagai pemberitaan.

Tokoh pers Siti Latifah Herawati Diah berpulang di usia 99 tahun di Rumah Sakit Medistra Jakarta, pada Jumat 30 September 2016.

Siti wafat lantaran usia yang sepuh dan mengalami pengentalan darah. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta, di samping makam suaminya Burhanuddin Muhammad Diah.

Hingga akhir hayatnya, ia tetap rajin menulis dan membaca media massa berbahasa Indonesia dan asing. Bahkan menulis sejumlah buku dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

“Biar tidak cepat pikun,” begitu papar Siti Latifah Herawati Diah, yang juga penerima Bintang Mahaputra pada 1978, dihimpun dari pelbagai sumber.

I Pewarta: Siska I Redaktur: Jihana

Back to top button