KLIK BALIKPAPAN – Pemerintah telah menetapkan hasil sidang Isbat tahun 2022. Hasilnya, awal puasa atau 1 Ramadhan 1443 Hijriah disepakati, jatuh pada Minggu, 3 April 2022. Sedangkan Muhammadiyah, sudah lebih awal menetapkan 1 Ramadhan, yang jatuh pada Sabtu 2 April. Beda sehari.
Kenapa bisa berbeda? Bagaimana sejarah sidang Isbat?
Kita bahas satu per satu, secara singkat ya.
Perbedaan awal Ramadhan bukan kali ini terjadi. Perbedaan telah terjadi berulang-ulang, tidak hanya di era pemerintahan ini. Tapi juga di pemerintahan sebelumnya. Bahkan, perbedaan itu tak hanya dalam penetapan Ramadhan. Melainkan saat lebaran atau Iedul Fitri.
Perbedaan Iedul Fitri, bahkan, juga sudah ada sejak zaman Sahabat Nabi. Ketika itu, waktu pelaksanaan Iedul Fitri antara di Syam, saat ini Suriah dan sekitarnya, berbeda dengan di Madinah.
Padahal jarak antar keduanya dekat. Kenapa? Karena penampakan hilalnya beda. Kisah perbedaan itu termaktub dalam nubuah. Yang telah disinggung para Imam, berabad silam. Dari Imam Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Nasa’i, Imam Tirmidzi, Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Daruquthni, Imam Baihaqy, sampai Imam Ahmad (Al-Fathur-Rabbaani 9/270).
Penetapan awal Ramadhan dan Iedul Fitri, menggunakan dua metode. Yakni, hisab dan rukyatul hilal.
Mengacu artinya, hisab adalah perhitungan. Dalam keilmuan Islam, istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi matahari menjadi penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu salat.
Sedangkan metode rukyatul hilal adalah kriteria penentuan awal bulan atau kalender Hijriyah dengan merukyat alias mengamati hilal secara langsung. Jika hilal atau bulan sabit tidak terlihat, maka bulan kalender berjalan digenapkan menjadi 30 hari. Penggenapan ini dinamai istikmal.
Kedua metode ini sangat penting untuk menentukan awal Ramadan sebagai patokan awal berpuasa. Sekaligus menentikan awal Syawal atau lebaran Iedul Fitri, dan awal Dzulhijjah saat jamaah haji wukuf di Arafah pada 9 Dzulhijjah, dan Iedul Adha pada 10 Dzulhijjah.
Hisab itu ilmu Qur’an, begitupun dengan rukyatul hilal. Hisab dan rukyatul hilal, satu kesatuan. Tidak bisa dipisahkan. Nah, kenapa dalam menetapkan awal Ramadhan, hasilnya kerap berbeda? Terutama antara Pemerintah dan Muhammadiyah.
Perbedaan ini menarik. Menjadi rahmat. Menambah gizi bagi khazanah keilmuan Islam. Perbedaan hanya pada metodenya. Tapi, hasil keduanya sama-sama benar. Baik yang hisab maupun rukyatul hilal.
Tahun ini, Indonesia mengikuti acuan kepsepakatan MABIMS. Yakni kesepakatan hasil Musyamawarah Menteri Agama Brunei, Malaysia dan Indonesia. Acuan MABIMS tinggi bulan minimal berada 3 derajat dengan elongasi minimal 6,4 derajat. Ketinggian hilal ini sesuai kriteria imkan rukyat. Bagian dari metode hisab hakiki: perhitungan astronomis terhadap posisi bulan di sore hari, sesuai konjungsi.
Hasil laporan yang diterima Kemenag di 101 lokasi pantauan menunjukkan, ketinggian hilal di seluruh Indonesia ada di posisi 1 derajat 6,78 menit sampai 2 derajat 10.02 menit berdasarkan hisab. Artinya, hilal terlalu rendah dan sulit mengalahkan cahaya syafaq.
Jadi akhirnya disepakati: hilal di Indonesia dinilai rendah dan tidak mungkin terlihat. Maka diputuskan lah istikmal. Jika hilal atau bulan sabit tidak terlihat, bulan kalender berjalan akan digenapkan menjadi 30 hari. Penggenapan ini dinamai istikmal. Yang artinya saat pemantauan hilal pada tanggal 1, masih dihitung hari ke-29 bulan Sya’ban- sebelum Ramadhan.
Lantas bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari atau tanggal 2 April 2022. Dengan istikmal tadi, maka awal Ramadhan baru masuk pada tanggal 3 April 2022. Sebab, hilalnya tidak terlihat. Andai pun terlihat, batas ketinggiannya belum sampai 3 derajat.
Sebagai perbanding, di Mesir sudut ketinggian hilal minimal 4 derajat, di Turki malah 6 derajat. Lebih tinggi lagi di komunitas Muslim Amerika, minimal 15 derajat. Kriteria ini bersandar pada kesepakatan atau ijtimak hasil ijtihad Ulama, bukan alasan astronomis.
Supaya lebih jelas, pada penentuan awal Ramadhan tahun ini, diterapkan kriteria imkan rukyat versi MABIMS, tadi. Yaitu, mengacu hasil kesepakatan dari Musyawarah Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Kesepakatannya: tinggi hilal 3 derajat dan elongasi bulan 6,4 derajat. Sebelumnya, hanya 2 derajat.
Pertanyaannya kemudian, kenapa di Yaman, Palestina, Saudi hila bisa terlihat?! Mungkin beda cuaca saat pengamatan. Seperti penjelasan Observatorium Astronomi di Universitas Al-Majma’ah: udara di sana 90% cerah. Jadi, hilalnya bisa terlihat. Mungkin karena di Indonesia mendung, jadi tidak terlihat. Di tiap wilayah, kondisi hilal bisa beda-beda. Andaipun tampak, belum sampai standarnya.
Bisa juga karena standar derajat yang berbeda tadi. Semisal Indonesia 2 derajat, tapi tahun ini sesuai kesepakatan MABIMS jadi 3 derajat.
Sedangkan Muhammadiyah, menggunakan hisab hakiki wujudul hilal, yang sifatnya masih zonal. Belum global. Maksudnya hanya bisa ditetapkan di Indonesia, tidak untuk Muslim di tempat lain. Untuk standar derajatnya, lebih kecil lagi: 0,5. Ini yang menjadi letak perbedaan dengan NU, MUI dan pemerintah.
Seperti imkan rukyat, metode wujudul hilal juga bagian dari hisab hakiki. Jika posisi bulan sudah di atas ufuk waktu matahari terbenam, maka esoknya dianggap sudah masuk hari pertama bulan baru.
Karena itu kedua metode ini: hisab dan rukyat, tidak bisa dipisahkan. Sebab, saling melengkapi. Kenapa di Indonesia beda? Karena beda metode penetapan dan standar derajatnya. Hanya itu.
Keduanya sama-sama benar, baik Muhammadiyah dan pemerintah benar. Kenapa masih ada yang bingung, karena mungkin standar derajatnya berubah. Dari 2 jadi 3. Standar baru Neo-MABIMS ini yang memang kurang sosialisasi. Di sini yang menjadi titik krusialnya.
Sebab ketika hasil pantauan hilal sudah 2 derajat, kenapa dianggap tidak melihat. Alasannya, naiknya standar sesuai MABIMS, yang sebelumnya 2 menjadi 3 derajat.
Sejarah Sidang Isbat
Setelah membahas alasan perbedaan penetapan awal Ramdhan dan Iedul Fitri, kini kita bicara soal sejarah sidang Isbat. Sidang ini memiliki sejarah cukup panjang di Indonesia.
Di Indonesia, penentuan awal puasa ditentukan melalui Sidang Isbat. Isbat dalam bahasa Arab berarti penetapan atau penentuan. Sidang ini dilakukan pemerintah melalui kementerian agama Republik Indonesia untuk menentukan awal bulan pada kalender Hijriah, khususnya 1 Ramadan. Sidang Isbat juga dilaksanakan untuk menentukan 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah.
Sejak kapan Sidang Isbat dimulai?
Dihimpun dari pelbagai sumber, sidang Isbat pertama kali dihelat sekitar lima atau enam tahun usai Indonesia Merdeka. Persisnya di era tahun 50-an. Sebelumnya belum ada. Umat mengacu pada Ulama di masing-masing daerah. Di era 50-an, barulah sidang Isbat dilakukan meski dihelat sangat sederhana.
Musyawarah penentuan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 9-10 Dzulhijjah itu didasari dalil-dalil serta fatwa Ulama yang menyatakan pemerintah boleh menetapkan awal Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah. Atas dasar ini, akhirnya pemerintah di era Orde Baru berinisiatif menggelar sidang Isbat secara resmi, melalui Departemen Agama. Kini bernama Kementerian Agama.
Dalam perjalanannya kemudian, pada tahun 1972, pemerintah membentuk tim khusus dari pelbagai kalangan untuk membawahi sebuah badan bernama BHR atau Badan Hisab Rukyat. Badan ini terdiri dari para ahli Fiqih, Ulama dan ahli astronomi, yang tugas intinya memberi informasi, data kepada Menteri Agama terkait awal bulan Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah.
Sidang Isbat pun hanya bersifat musyawarah. Penetapan yang menjadi hasil dalam sidang ini berasal dari kesepakatan masing-masing ormas Islam yang yang diwakili utusannya. Pemerintah hanya memfasilitasi, mengumpulkan para tokoh, para ulama untuk membahas awal bulan itu ditetapkan.
Setelah hasil musyawarahnya ditetapkan dalam satu kesepakatan hasil sidang, baru kemudian menteri agama akan mengumumkannya ke publik.
Jadi, hasil Isbat tidak sepenuhnya mengikat. Hasilnya, tetap diserahkan kepada masyarakat. Karena hasil Sidang Isbat itu tetap memungkinkan celah perbedaan dengan keyakinan masyarakat di suatu daerah atau kelompok tertentu. Pemerintah hanya mengajak mengawali dan mengakhiri bulan Ramadan bersama-sama. Sedangkan perbedaan itu adalah Rahmat. Selamat menunaikan Ibadah Puasa 1443 H. Shalallahu alaa Muhammad. (Rudi Agung)