Media Harus Jadi Watchdog
KLIK BALIKPAPAN – Persatuan Wartawan Indonesia Kaltim dan Aliansi Jurnalis Independen Samarinda, menghelat diskusi bertajuk: Jurnalis Serang Jurnalis, Bagaimana Hukumnya?
Agenda itu dihelat pada Jumat, 24 Juni 2022. Menghadirkan narasumber Ketua PWI Kaltim, Endro S Effendi dan Majelis Etik AJI Samarinda, Edwin Agustyan. Moderator dibawakan Wakil Ketua Bidang Organisasi PWI Kaltim, Felanans Mustari.
Ia membuka diskusi dengan memaparkan fenomena terkini kebebasan pers di Kaltim, yakni serangan personal kepada jurnalis yang menjalankan kerja jurnalistik.
Peristiwa ini dianggap mengancam kemerdekaan pers dan bisa membunuh karakter jurnalis yang bersangkutan. Namun, yang bikin aneh, pelaku diduga juga bekerja sebagai jurnalis. Serangan diduga dilakukan secara berjamaah oleh sejumlah media siber lokal.
Ia merasa heran, biasanya ancaman doxing berasal dari luar insan media.
Dikutip dari The Conversation USA, kata doxing sendiri berasal dari istilah internet, yaitu dari gagasan mengumpulkan dokumen atau “docs” pada seseorang. Dari kata itulah istilah doxing dibuat dan dikenal hingga saat ini.
Sebelum melakukan doxing, biasanya seseorang akan mengumpulkan informasi pribadi yang ditarget melalui pelbagai platform. Data-data seseorang dapat dicari dan dikumpulkan melalui pelbagai cara, seperti mengambil informasi yang tersedia untuk umum, penelitian catatan publik, atau melakukan akses secara tidak sah ke database pribadi dan sistem komputer.
Singkatnya, doxing bisa dikatakan sebagai tindakan berbasis internet untuk meneliti dan menyebarluaskan informasi data pribadi secara publik terhadap seseorang individu atau organisasi.
“Seperti yang dialami wartawan Tempo dan Tirto.id. Lah, ini, kok bisa jurnalis sendiri? Bagaimana persoalan etiknya? Ini yang mau kita diskusikan hari ini,” jelas Felanan, membuka diskusi.
Ahli Pers Dewan Pers dari AJI Samarinda, Edwin Agustyan, menyayangkan peristiwa itu. Terlebih kasusnya telah didengar kota tetangga. Ia menilai, persoalan pemberitaan seharusnya diselesaikan lewat jalur Dewan Pers.
Mengacu pada Kode Etik Jurnalistik, pemberitaan ihwal persoalan pribadi seseorang tidak dibenarkan. Ia menilai pemberitaan melanggar setidaknya pasal 2 dalam Kode Etik Jurnalistik.
Isi pasal 2 itu, “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah,” ujar Edwin, sapaan karibnya, dalam keterangan resmninya.
Edwin mengingatkan pelanggaran pasal itu dapat disimpulkan karena sejumlah hal. Semisal, motivasi ditulisnya berita itu, proses konfirmasi yang bias, dan lemahnya pemilihan narasumber.
Dicontohkan Edwin, semisal memakai rujukan potongan komentar netizen di media siber. “Narasumber akun sosial media tidak bisa dijamin validitasnya. Dia siapa? Kok bisa ngomong begitu?” tanyanya.
Ia juga menilai kejadian itu sebagai kritik bagi seluruh insan pers Kaltim. Karena itu ia menekankan agar organisasi pers dan perusahaan bisa mendorong pelatihan-pelatihan kode etik dan memperhatikan produk jurnalistiknya.
Jurnalisme, tegasnya, seharusnya menjadi watchdog atau anjing penjaga kepentingan publik.
“Bukan anjing penguasa yang suka menggigit pengkritik,” tegas Edwin.
Ketua PWI Kaltim Endro Effendi, menilai tindakan menyerang personal jurnalis, bisa melanggar pasal 1 KEJ. Pasal tersebut berbunyi
“Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk,” ingatnya. Ini bisa dinilai dari pemilihan bahasa yang digunakan sejumlah media. Pemberitaan yang dihasilkan bisa diduga bersifat tendensius.
“Jadi bisa dicek di ahli forensik bahasa. Mengapa berita menulis hal seperti itu ?” ujar Endro, sapaan karibnya.
I Pewarta: Robby I Redaktur: Basir