Coretan Dokter Leli

Filosofi Muncak

KLIK BALIKPAPAN – Saat saya pergi ke Rinjani beberapa saat lalu, saya perhatikan betapa kuatnya para porter atau guide Rinjani yang notabene orang lokal. Dengan beban puluhan kilo, trek yang menanjak curam, tetap mereka lewati dengan ringan.

Mereka melangkahkan kakinya dengan lincah di sela-sela akar dan bebatuan.

Peralatan mereka sungguh biasa. Tidak perlu tas carrier merk terkenal untuk mengangkut barang-barang atau beban logistik selam berhari-hari di atas. Jangankan memakai jaket wind proof, wind breaker, jaket bulang dan semacamnya.

Pakaian mereka hanya kaos oblong biasa, beberapa bahkan kami temui tidak memakai baju!

Alas kaki juga bukan sepatu gunung atau hiking boots, melainkan cukup sandal jepit merk lokal. Begitu sederhana. Seolah-olah perjalanan ini hanya main ke kampung sebelah!

Related Articles

Bandingkan dengan kami yang mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Sibuk hunting semua peralatan yang harus dibawa, bahkan kalau perlu sewa atau membeli gear model terbaru.

Lalu saya berpikir, apa yang membuat mereka begitu kuat dan tangguh ya? Apa ini tentang kebiasaan?

Atau hanya tentang kekuatan pikiran bahwa medan yang akan dilalui hanya biasa-biasa saja, jadi ya semua tentang ini menjadi biasa-biasa saja.

Saya sering mendengar untuk sebuah perjalanan pendakian, selain persiapan fisik maka mempersiapkan mental jauh lebih penting.

Dan ini saya buktikan kemarin!

Dengan trek yang luar biasa berat, sebenarnya beberapa kali saya hampir menyerah untuk maju. Terutama saat perjalanan summit menuju puncak Dewi Anjani. Utamanya lagi ketika kami harus melalui letter E! Belum lagi ditambah kabut yang terus datang dan pergi sehingga puncak menjadi tidak tampak dan ini makin membuat saya frustasi karena tujuan saya seolah-olah menjauh.

Sungguh kekuatan pikiran menjadi lebih penting saat itu.

Kaki ini sudah tidak sanggup melangkah sebenarnya. Lebih tepatnya sudah diseret. Saat 1–2 kali melangkah ke depan, lalu tubuh ini limbung ke belakang. Maka pilihan terbaik adalah istirahat sejenak sambil menguatkan motivasi untuk tetap maju. Dan pasrah!

Saya pikir kita harus mampu mengukur diri sendiri. Jadi sejak awal, sudah saya persiapkan mental untuk pasrah walau nanti tidak bisa sampai ke puncak. Ini bukan sebuah persaingan siapa yang bisa ke puncak adalah siapa yang paling hebat.

Ini adalah sebuah perjalanan ketika saya harus bisa mengukur kemampuan diri, tidak memberatkan orang lain. Dan yang terpenting tidak membahayakan keselamatan banyak orang!

Ketika semuanya menjadi biasa-biasa saja, maka beban untuk menapaki pendakian, terutama beban harus sampai di puncak, menjadi lebih ringan. Its okay not to reach the top!

Tapi saya akui ini tidak mudah.

Rasanya memang terbebani ketika satu persatu teman-teman atau orang lain mendahului langkah kita, dan tau mereka sudah semakin dekat dengan puncak! Atau ketika bertanya kepada orang-orang yang sudah turun, masih berapa lama lagi perjalanan menuju kesana? Rasanya mental ini menjadi lebih drop dan tiba-tiba rasa untuk menyerah di titik itu makin besar.

Ini sebenarnya sudah pernah saya alami di pendakian sebelumnya.

Karena itu, sejak awal ketika saya menyadari bahwa Rinjani bukanlah medan ringan, hal ini membuat rasa pasrah saya makin besar. Kemudian saya makin biasa-biasa saja. Tapi anehnya beban pendakian kemarin malah menjadi lebih ringan!

Kembali lagi ke soal porter Rinjani.

Sepertinya kasus saya jadi sedikit mirip dengan kasus porter di atas. Dengan pikiran bahwa perjalanan yang akan dilalui biasa-biasa saja, plus kebiasaan jalan mereka yang sudah ratusan kali mendaki pada medan yang sama.

Bam! Lalu semuanya menjadi terasa ringan buat mereka.

Tentu, tetap saja ada perbedaan fisik antara saya dengan mereka hehhe. Tapi saya rasa untuk hal ini dapat saja kita bisa seperti mereka kan. Misalnya dengan latihan fisik yang kontinyu, maka medan yang berat bisa kita lalui dengan biasa-biasa saja.

Seharusnya filosofi ini bisa dipakai pada episode perjalanan hidup kita yang lain.

Ketika kita sadar dan pasrah bahwa hidup bukanlah tentang persaingan siapa yang lebih hebat, maka kita akan biasa-biasa saja saat melihat orang lain lebih sukses ke puncak!

Saat kemudian semua terasa begitu berat dan pada titik nadir untuk menyerah, maka pilihan terbaik adalah istirahat sejenak, pasrah dan bersikap biasa-biasa saja sambil tetap menguatkan motivasi untuk meneruskan hidup. Walaupun itu artinya kita harus menyeret langkah kaki kita, its okay selama tidak menyerah. Pelan-pelan saja.

Lalu pelan-pelan meneruskan langkah kita.

Ketika ada kabut sesekali datang dalam hidup, tujuan makin tidak jelas. Namun kalau kita pikir bahwa semua episode hidup tersebut akan kita lewati, maka harusnya semua juga akan terasa menjadi biasa juga. Dengan pikiran dan mental yang terlatih, rasa pasrah yang diperbesar, seharusnya semua akan baik-baik saja pada akhirnya.

Hidup kita mungkin tidak akan lurus begitu saja menuju tujuan. Akan berbelok-belok. Akan ada beban tambahan di sela-sela perjalanan. Maka hanya dengan kekuatan pikiran, sikap pasrah, tawakkal kepada Sang Kuasa dan meneruskan hidup pelan-pelan dengan tidak menyerah, harusnya sih semua terasa biasa-biasa saja. Dan ujung-ujungnya jadi lebih ringan.

Upss , saya lupa.

Dengan semua pengorbanan di atas, maka Insya Allah kita akan mendapatkan bonus! Sebuah puncak ketika kita bisa melihat ke bawah, kepada sekeliling, kepada semua episode dalam perjalanan hidup untuk kemudian meneruskan tujuan menuju puncak yang lain:

Sebuah puncak keabadian untuk bertemu dengan Sang Pencipta kita kelak.

(dr. Leli Hesti Indriyati, M.KK)

Back to top button